Sekeping Kisah Penulis yang Tak Bisa Menulis: Bukti Bahwa Memperbaiki Diri Tak Mengenal Kata Terlambat
"Ya, tanganku adalah ‘nyawaku’. Sehingga patah kedua tulang tangan adalah hal terpahit bagiku...." |
Hujan jatuh saling susul di Bumi Sriwijaya. Tiga puluh menit sudah
Aku berdiam di samping jendela, berharap entah melihat apa. Pulpen ungu
yang selalu Aku gunakan untuk mengukir syair hidup, teronggok berdebu
di atas meja, setelah sebulan lamanya Aku tinggal koma.
Kecelakaan
lalu lintas, trauma pasti. Apalagi yang direnggut adalah ‘nyawaku’
satu-satunya. Ya, tanganku adalah ‘nyawaku’. Sehingga patah kedua tulang
tangan adalah hal terpahit bagiku yang seorang penulis yang selalu
berharap menulis buku best seller.
Shit !
Rupanya Tuhan menantangku ! Aku akan buktikan bahwa Aku bisa tetap menjadi manusia sejarah yang meninggalkan ‘jejak sejarah’. Aku akan meninggalkan tulisan dalam sebuah buku.
***
Namanya
Ren. Seorang lelaki humor teman kuliahku dulu yang selalu menjadi
‘komentator’ tulisanku sebelum aku kehilangan ‘nyawa’. Kini Ia juga
sebagai motivator hidupku.
Sabtu siang, Danau favoritku dan Ren. Tempat aku mencari inspirasi dalam menulis.
"Benar-benar lelucon. Penulis menulis tanpa tangan. Impossible. Manusia tidak akan hidup tanpa ‘nyawa’ mereka." Aku menatap pelukis yang asyik bermain di atas kanvasnya."
"Tangan hanya media transmisi. Tulisan sebenarnya ada di dunia
pikiranmu. Dunia ide. Terpisah dari dunia realitas yang hanya cermin dan
bayangan dari dunia ide."
"Tau apa kau tentang dunia ide. Ide hanya sampah, toh tidak berguna. Jika menjadi tulisan, barulah ide berguna. Hapus sajalah tentang ide, tulis-menulis, buku best seller, atau apa lah itu. Ayo kita pulang,”\" Aku berusaha mengajaknya berdiri.
Ren tak bergeming. Ia memandang Danau penuh makna. Aku jengkel.
Kutinggalkan Ia, perlahan berjalan menuju parkir mobil.
"Yang harus kau lakukan bukan menghapus ide, karena mustahil. Ide
selalu ada dan abadi. Yang harus kau lakukan adalah mencari media untuk
menyalurkan ide tanpa tanganmu. Aku siap menjadi ‘nyawamu’."
Kakiku tehenti di langkah ketujuh mendengar ucapan itu. Terkejut. Aku
menoleh. Kulihat Ren menatap lurus ke depan. Aneh. Ia seakan bicara
kepada angin.
"Aku ingin menjadi ‘nyawamu’. Aku ingin
membuatmu kembali hidup. Aku ingin menuliskan syair-syairmu," Ren
kembali berbicara.
"Ren…?"
Aku mendekati Ren. Menatapnya lekat. Sangat takut jika lelaki ini kesurupan. Namun dari matanya, aku melihat binar kejujuran. Ren…
"Aku mohon, tetaplah menulis untuk aku dan dunia yang menanti syair indahmu. Manfaatkan Aku. Aku disini ditakdirkan untuk menjadi pengganti ‘nyawamu’."
"Tapi Ren… Aku…" Bulir emas putih mulai mengalir dari kelopak mata sipitku.
Ren tetap tak bergeming. Masih memandang lurus ke depan. Aku tak kuasa. Kupeluk erat tubuhnya. Terima kasih Tuhan, kau pertemukan Aku dengan sahabat setulus Ren.
"Terima kasih Ren, aku benar-benar beruntung memiliki sahabat sepertimu.
"Senyum itu yang telah kunantikan sejak lama, Nisa" Ren mengusap airmataku.
***
Tik tik tik tik tik…..
Suara mesin ketik terdengar dari ruang baca rumah Nisa. Lonceng jam berbunyi tiga belas kali. Tengah hari.
"Akhirnya, buku tersebut mendapat award sebagai buku remaja terbaik best seller. Selesai!" Nisa mendikte Ren tentang ending cerita yang ditulisnya dan menjerit girang seraya memeluk Ren.
"Alhamdulillah. Sekarang saatnya kita mengirimkan buku Menulis Tanpa Tangan ini ke penerbit," ucap Ren tak kalah girangnya.
***
Tiga puluh hari telah berlalu semenjak kami mengirimkan buku Menulis Tanpa Tangan ke penerbit. Dan hasilnya sangat memuaskan. Buku itu benar-benar mendapat award Buku Remaja Terbaik Best Seller 2013 seperti dalam cerita. Seminggu setelah pengumuman penghargaan tersebut, tibalah waktunya aku untuk mengisi acara workshop.
Sabtu, awal minggu kedua di bulan November. Aku ditemani Ren datang ke acara workshop yang membedah bukuku yang berjudul Menulis Tanpa Tangan.
"Mbak Nisa, sebagai pemenang award Buku Remaja Terbaik, bagaimana perasaan Mbak waktu itu?
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan kepadaku. Mataku
liar mencari seseorang di kerumunan penonton. Ren. Aku mencari Ren. Dan
ketika mataku terpatri di wajahnya, aku melontarkan senyuman termanisku
untuknya.
"Perasaan seseorang yang hampir mati
kemudian hidup lagi karena ‘nyawa’ orang lain sampai kapan pun tidak
akan pernah bisa dilukiskan dengan seribu kata indah sekalipun. Yang
pasti, bahagia mutlak kita rasakan saat cita-cita tertinggi kita bisa
tercapai di tengah badai samudera."
"Oke. Untuk inspirasi sendiri, didapat dari mana Mbak ?"
"Bicara soal inspirasi,Saya adalah inspirasi utama cerita buku
tersebut. Saya yang tak lagi punya’nyawa’ untuk menulis, akhirnya bisa
meninggalkan ‘jejak sejarah."
"Tetapi, bukankah tokoh
utama dalam cerita tersebut adalah seorang yang patah kedua tulang
tangannya ? sedangkan Saya melihat Mbak tidak cacat sedikitpun."
"Empat bulan yang lalu, saya mengalami kecelakaan yang membuat kedua
tulang tangan Saya patah dan sejak itu Saya tidak bisa lagi menulis,
karena tangan Saya lah ‘nyawa’ Saya. Sampai akhirnya Saya menemui
‘nyawa’ baru yang membuat Saya menjadi seperti ini."
Suasana hening. Jelas terlihat ketidakpercayaan di wajah mereka, para
penonton. Banyak diantara mereka yang tidak sadar terdiam dengan mulut
menganga.
"Ehm… baiklah Mbak, ini pertanyaan terakhir. Buku ini Mbak persembahkan untuk siapa sebagai special thank?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan terakhir yang dilontarkan. Kembali
Aku menatap Ren dengan senyuman, dan Ia pun membalas senyuman itu…
Komentar
Posting Komentar