Meski Tak Sempat Kulihat Jasadmu, Petuahmu Ku Indahkan, Tulus Doa Iringi Perjalanan Panjangmu
Nenek. https://www.google.co.id |
Ya, beliau nenekku. Ibu dari papaku. Seorang wanita renta, bahkan sangat
renta, hingga dunia ini pun tak mampu beliau lihat lagi sejak 15 tahun
yang lalu. Usia tua telah merenggut fungsi penglihatannya. Beliau hanya
mampu mengandalkan kepekaan indera peraba untuk menjalani kegiatannya
sehari-hari.
"Kalu kaban nak baju alap, bantui kudai aku ngudak dodol ne" (kalau kamu mau baju baru, kamu harus membantu saya mengaduk dodol)"
Cerita ini ku dengar langsung dari papa. Sedari kecil nenek sangat tegas
perihal kerja keras. Beliau tidak pernah mengajarkan anak-anaknya
bermalas-malasan dan berpangku tangan mengandalkan pemberian orang lain.
Hal yang selalu ditekankan oleh nenekku kepada anak-anaknya adalah
bahwa tidak ada sesuatu yang dengan gampangnya diraih tanpa ada usaha
dan kerja keras. Beliau menegaskan kepada anak-anaknya "jika kamu
menginginkan sesuatu, maka kamu harus bekerja keras untuk
mendapatkannya." Pernah suatu ketika, Papa kecil menginginkan sepasang
baju baru untuk dikenakan di Hari Lebaran. Nenek bisa saja dengan
mudahnya memberikan sepasang baju baru untuk anaknya, toh hanya
sekali dalam setahun. Namun nenek tak ingin anak-anaknya memiliki
pemikiran bahwa keinginan bisa diraih dengan meminta-minta dari orang
lain. Anak-anaknya diajarkan membayar atas apa yang mereka inginkan.
Untuk itu, nenek memberikan tawaran berupa mengaduk dodol dimana papa
kecil akan diberikan sepasang baju baru jika Ia bersedia mengaduk dodol. Ah, gampang.
Kedengarannya memang mudah. Namun jangan salah, mengaduk dodol dulu dan
sekarang sedikit berbeda. Di jaman nenekku dulu, dodol dimasak di
sebuah kuali besar di atas tungku. Api di tungku ini harus terus ditiup
untuk tetap menjaga baranya. Selain itu, dodol juga harus terus diaduk
selama 8-12 jam! Demi sepasang baju baru, papa kecil mau ga mau harus
melakukan permintaan nenekku. Dan apa yang diperoleh papa kecil di
kemudian hari? KERJA KERAS! Papa kecil belajar bahwa ada yang harus
dibayar atas sesuatu yang kita inginkan. Kerja keras lah bayarannya.
Mengajarkan Bahwa Tidak Ada Keindahan Selain Berbagi Dengan Saudara
"Iwak sepiak sewang au, Cung. Adeng kaban lum makan…." (Ikannya sepotong aja ya, cu. Adikmu belum makan)."
Nenekku bukannya pelit. Beliau sedang membiasakan anak dan cucunya hidup
hemat dan mengajarkan indahnya berbagi dengan orang lain. Nenek selalu
berusaha adil. Misalnya saja ikan 2 ekor harus cukup dimakan ke 7
anaknya. Pada awalnya aku pun berpikir bahwa nenekku pelit. Hingga papa
berkata lain "Sedari dulu nenek memang seperti itu. Anak-anaknya yang
banyak menjadi tantangan tersendiri untuk nenek. Beliau harus memenuhi
gizi makan anak-anaknya namun tetap harus meminimalisir pengeluaran."
Mungkin dalam hal ini prinsip yang dipakai nenekku adalah "yang penting
gizi terpenuhi." Sampai sekarang, anak dan cucu nenekku selalu
menyisihkan miliknya untuk dinikmati bersama saudara dan orang lain.
Menjadi Sosok Mandiri
Dari nenek aku belajar bahwa keterbatasan fisik tidak serta merta
dijadikan alasan untuk bergantung pada orang lain. Meski di akhir
hidupnya dihabiskan dengan kebutaan, nenekku tidak mau bergantung pada
orang lain, sekalipun pada anak dan cucunya. Nenek selalu mencuci pakaian dan
membersihkan kamarnya sendiri. Apa pun beliau lakukan dengan tangannya
sendiri selagi beliau mampu. Sangat jelas tidak ingin merepotkan orang
lain di sekitarnya.
Urusan Kebersihan Diri Adalah Yang Utama
"Oy, Cung. Mandilah. Kinaki kudai jam tu, lah petang sahini…" (Cu, cepatlah mandi. Hari sudah sore)"
Nenekku selalu bawel soal mandi dan kebersihan diri. Biasanya jam 4 sore
pun beliau sudah memerintahkan anak dan cucunya mandi. Hebatnya lagi,
nenek tak hanya sekedar memberi perintah. Tetapi beliau memberikan
contoh. Nenek selalu mandi dua kali sehari bahkan lebih, tergantung
panas atau tidaknya cuaca di hari itu. Bahkan di hari-hari terakhir
kehidupannya, di rumah sakit, nenek selalu rutin mandi setiap harinya
tak peduli bagaimanapun kondisi kesehatannya dan apakah dokter
mengizinkannya atau tidak. Tak jarang, para dokter dan perawat dibuat
kewalahan. Duh, Nek. Kelakuanmu yang sarat nilai moril ini sangat aku rindukan.
Gigi Ompong dan Pipi Gelambir
Tahukah kau, Nek? Hal yang paling aku suka adalah memainkan pipi gelambirmu. Pipimu yang bergelayut keriput. Meski keriput, guratan-guratan sisa kecantikanmu di masa lalu sangat jelas nampaknya. Aku sangat yakin, bahwa dulu kau begitu cantik dan primadona. Jelas saja kakek bisa kepincut denganmu. Gigi ompongmu pun tak mau kalah. Membuatmu begitu lucu ketika mengunyah makanan.
Kini, Momen Bersamamu Menjadi Kepingan Indah Kenangan
Gigi Ompong dan Pipi Gelambir
Tahukah kau, Nek? Hal yang paling aku suka adalah memainkan pipi gelambirmu. Pipimu yang bergelayut keriput. Meski keriput, guratan-guratan sisa kecantikanmu di masa lalu sangat jelas nampaknya. Aku sangat yakin, bahwa dulu kau begitu cantik dan primadona. Jelas saja kakek bisa kepincut denganmu. Gigi ompongmu pun tak mau kalah. Membuatmu begitu lucu ketika mengunyah makanan.
Kini, Momen Bersamamu Menjadi Kepingan Indah Kenangan
Me: "Assalamualaikum, bisa bisa bicara dengan bu Animah?"
Nenek: "Ya, dengan saya sendiri. Ini siapa?"
Me: "Saya dari Dinas Kesehatan" (sambil memainkan pipi gelambir nenek)
Nenek: "Ya Allah, Nanda. Gawe kaban ni cung ay. Kalu kualat kaban ngecaki pipi aku tu lah ni" (Ya Allah, Nanda. Dasar kamu ya, Cu. Awas kualat kalo mainin pipi nenek terus)
Nek, Aku rindu. Aku benar-benar rindu bercanda denganmu. Aku
rindu membuatmu jengkel dengan segala tingkah jahilku. Namun terkadang
juga membuatmu terpingkal dengan leluconku. Membuat seluruh tubuhmu
bergoyang, begitu pun dengan pipi gelambirmu yang bergerak naik turun
dibuatnya. Aku rindu menyembunyikan tongkat dan sandal jepitmu dan
membuatmu marah karena tidak bisa pergi kemana-mana dengan tongkat dan
sandal jepit itu. Menjahilimu dengan menuntunmu ke tempat yang salah
saat kau ingin pergi ke kamarmu. Aku rindu itu semua, Nek. Dan
yang paling aku rindukan darimu adalah hangatnya tetes air mata di pipi
kala kau mencumbuku sesaat setelah kau tau cucumu ini kembali dari Kota
Kembang. Aku merindukan tatkala aku tak pernah lupa mencium tangan
lemahmu untuk berpamitan dan memohon doa restu kembali menuntut ilmu di
negeri seberang. Kau melepasku pergi dengan serentetan petuah khas orang
tua sepertimu…
"Jaga pergaulan. Bergaul boleh. Tapi jangan sampai terbawa arus. Harus ingat siapa kita…"
"Jaga kesehatan. Nenek tidak mau kamu pulang dalam keadaan kurus…."
"Jangan lupakan shalat. Berdoa, minta sama Allah supaya disukseskan dan menjadi kebanggaan keluarga…."
Sampai akhirnya kata terakhirmu sebelum aku berangkat yang terlambat kusadari…
"Cium nenek dulu. Siapa tau nanti kalau nenek meninggal kamu tidak ada disini dan tidak bisa melihat nenek…."
Dan benar adanya. Aku tak bisa menemani hari-hari terakhirmu di bumi,
Nek. Bahkan untuk sekedar melihat jasadmu, aku tak bisa. Maafkan aku
yang tak bisa menemani dan mengantarmu dalam perjalanan panjangmu menuju
Jannah-Nya. Bahkan setelah empat bulan kepergianmu, sekalipun belum
sempat aku singgah mengunjungi rumah peristirahatan terakhirmu. Tapi
tenang saja, Nek. Kujanjikan aku akan segera datang untuk nyekar segera
setelah aku memakai toga dan kembali dari tanah rantau. Seperti katamu
dulu, bahwa aku harus sukses, dan membayar semua yang telah dilakukan
Papa dan Mama.
Selamat malam, Nek Ibuk.
Selamat tidur, dengan tenang.
Wah,banyak pelajaran hidup yg bisa diambil dari Neneknya ya Mbak.. Semoga segera twrwujud cita-cita bertoga dan bisa nyekar ke makam Beliau :)
BalasHapusAmiin ya rabbal alamiin. Terima kasih doanya mbak Dian. Sukses juga Mbak, ya :)
Hapus