Kamu Calon Mempelai? Pengetahuan Ini Akan Menjadi Bekal Untuk Memahami Kehidupan Keluarga
Cinta, dorongan fitrah dan etos ibadah dapat disebut sebagai pondasi utama sebuah keluarga.
http://dodolperak.com/wp-content/uploads/2015/04/ini-5-persiapan-unik-bagi-calon-pengantin-tips-mempersiapkan-pernikahan.jpg |
Jika kita membayangkan sebuah bangunan, apa yang terlintas di pikiran
kita? Ya. Sebuah bangunan dengan pondasi utama, pilar-pilar raksasa nan
berdiri kokoh, atap yang terbuat dari baja ringan yang berfungsi
sebagai protektor bagi penghuninya, serta aksesoris cantik yang
menghiasi bangunan tersebut.
Keluarga bisa diibaratkan sebagai
sebuah bangunan. Calon mempelai, suami istri, ayah ibu serta kakek
nenek adalah pondasi utama dari sebuah keluarga. Dimana dari mereka lah
akan hadir keturunan-keturunan hebat. Jelas pondasi ini haruslah kuat,
bahkan sangat kuat, supaya keturunannya kelak akan menjadi keturunan
yang membanggakan. Coba bayangkan, sebuah bangunan dengan pondasi yang
tidak kuat (misalnya dari kardus), apa yang akan terjadi pada bangunan
itu jika suatu saat terjadi hujan disertai angin kencang? Ya. Bangunan
itu akan kehilangan keseimbangannya dan bahkan roboh. Silahkan
bandingkan dengan bangunan yang pondasinya terbuat dari semen, batu,
pasir, dan besi. Ketika hujan badai menerpa, bangunan ini akan tetap
berdiri kokoh.
Meskipun tidak ada jaminan bahwa bangunan ini tidak
akan roboh, tapi setidaknya mampu bertahan lebih lama dibandingkan
dengan bangunan yang terbuat dari kardus. Analogi ini sangat pas untuk
kehidupan keluarga. Ketahanan dan kekokohan sebuah keluarga tergantung
kepada kalian para calon mempelai dan juga ayah ibu. Tak hanya kesiapan
menikah, kematangan psikologis kalian justru lebih penting saat kalian
memutuskan untuk menikah. Karena kesiapan secara fisik dan finansial
bukan berarti menunjukkan kesiapan secara psikologis. Kehidupan
berkeluarga sebenarnya jauh lebih kompleks dibandingkan dunia pendidikan
atau pun dunia kerja. Permasalahan yang mungkin dan hampir pasti
terjadi dalam perkawinan dan rumah tangga kalian tidak akan mampu
dihadapi jika pondasi dari dalam diri kalian lemah. Tidak akan ada
keturunan yang hebat apalagi membanggakan yang hadir dari sebuah
bangunan keluarga yang pondasinya lemah. Padahal, hampir semua orang
menginginkan hidup berkeluarga dan berumah tangga sekali seumur hidup.
Sudah siapkah aku?
Memang, cinta adalah bahan dasar pondasi
bangunan keluarga. Terciptanya pernikahan merupakan awal penyatuan suci
perasaan cinta calon suami kepada calon istri dan sebaliknya. Bahan
dasar cinta ini akan membuat mereka bisa menikmati kesulitan, karena
kesulitan yang ditempuh oleh dua orang yang saling mencinta justru
memperteguh jalinan cinta. Mereka menikmati keberduaan dan hangat dalam
pembicaraan.
Selain cinta, adakah yang mampu mendorong seseorang
untuk menikah membangun sebuah keluarga? Ada, yang oleh banyak ahli
disebut "Dorongan Fitrah." Ketertarikan yang berujung rasa suka dan
cinta kepada lawan jenis adalah fitrah Tuhan yang dibawa sejak kita
dilahirkan. Tak jarang anak perempuan jatuh cinta kepada ayahnya dan
mengidamkan lelaki seperti ayahnya. Atau anak lelaki yang berkata, "Aku
sungguh mencintai wanita itu dan menghormatinya seperti aku menghormati
ibuku." Fitrah inilah yang mendorong seseorang untuk mencari jodoh dan
kemudian hidup berumah tangga. Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, MA., seorang
konselor keluarga berkata bahwa hidup dalam kesendirian adalah
berlawanan dengan fitrah hidup manusia. Oleh karena itu, diakui atau
tidak, sesungguhnya hidup melajang itu terasa gersang. Banyak wanita dan
pria yang mapan secara finansial namun merasakan kehampaan.
Pondasi
bangunan keluarga yang tak kalah penting adalah etos ibadah. Pernikahan
adalah sebuah ibadah. Dimana segala sesuatu yang kita lakukan dalam
sebuah kelurga pun dinilai sebagai ibadah. Orang yang patuh kepada agama
akan menyadari bahwa semua aktfitas dalam kehidupan berkeluarga, mulai
dari istri yang menyiapkan pakaian suaminya, suami yang menelepon
istrinya di sela-sela kesibukan kerja, bahkan sampai kegiatan
persetubuhan antara suami-istri adalah bernilai ibadah. Selain itu,
menurut ajaran Islam, nilai-nilai beragama separohnya ada di dalam rumah
tangga, separoh selebihnya tersebar pada berbagai aspek kehidupan.
Suami-istri adalah partner.
Hubungan antara keduanya selayaknya partner yang saling mendukung.
Bukan antara guru dan murid dimana suami adalah guru dan istri adalah
muridnya. Mungkin benar bahwa suami adalah "guru kehidupan." Namun
alangkah lebih baik jika yang terjadi adalah suami membimbing dan bukan
menggurui. Karena sejatinya, belahan jiwa tetap belahan jiwa, bukan
murid, bukan klient.
Komentar
Posting Komentar